Laman

Rabu, 17 Maret 2010

Tanaman Hias

Bisnis Tanaman Hias Bermodal Kemauan

Oleh: Syofiardi Bachyul JB/ PadangKini.com

Modal yang terbatas tidak membuat Afrizal, 27 tahun, menghentikan keinginan untuk menjadi pengusaha tanaman hias. Bahkan hanya dengan lebih banyak bermodal kemauan dan tenaga, ia terus mengembangkan usahanya.

Lelaki yang masih bujangan ini mendapat penghargaan Pemenang III Pengusaha Mikro 2006 Citigroup Microentrepreneurship Award 2006 untuk Kategori Perdagangan yang diterimanya di Hotel Santika, Jakarta, 30 November 2006.

Penghargaan itu diberikan oleh UKM (Usaha Kecil dan Mikro) Center, Universitas Indonesia bekerja sama dengan Citibank Peka (Peduli dan Berkarya) dan Citigroup Foundation.

Dari empat kategori award: perdagangan, pertanian dan makanan olahan, kerajinan, dan jasa, yang istimewa Afrizal satu-satunya pemenang dari bisnis pertanian. Dua pemenang lainnya dari katergori perdagangan adalah bisnis jualan mainan dan jualan ternak kambing.

Peserta award adalah pengusaha mikro minimal dua tahun membuka usaha dengan penilaian pada motiviasi usaha, hubungan sosial atau kegunaan bagi masyarakat sekitar, masa depan usaha, dan manajemen usaha.

Usaha tanaman hias lelaki kelahiran Padang, 11 November 1979 ini tidaklah terlalu besar di rumah orang tuanya di Kelurahan Sungai Lareh-Lubuk Minturun, 11 km dari pusat Kota Padang. Areal pajangan tanaman hiasnya yang tidak memiliki plang nama usaha itu, hanya sekitar 300 meter persegi di halaman samping dan depan.

Lubuk Minturun terkenal sebagai kawasan usaha tanaman hias di Kota Padang sejak 1970-an dan masih ada beberapa usaha tanaman hias yang lebih besar. Tetapi Afrizal mendapatkan penghargaan sebagai pengusaha mikro yang pantang menyerah meski dengan modal kecil.

Afrizal memulai usaha dengan mencoba-coba pada 1995. Waktu itu ia masih pelajar Sekolah Menengah Teknik (STM). Pulang sekolah, jika ia tidak membantu orang tuanya berjualan sembako di Pasar Raya Padang, ia mencoba-coba budidaya tanaman hias di rumah. Penduduk di Lubuk Minturun banyak yang berusaha tanaman hias dan mahir melakukan pembibitan, membuat Afrizal juga tertarik melakukannya.

“Saya menanam bunga kertas, sejenis bougenvil, yang lagi trend waktu itu dan harganya bagus, saya coba stek sendiri ternyata bisa, dikawin-silang juga bisa, hasilnya lumayan selain jadi hiasan rumah juga dibeli orang, hasil penjualan sudah bisa membiaya sekolah saya,” katanya.



Berburu dengan Sepeda Motor

Tamat STM, sekarang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada 1997, Afrizal belum fokus kepada usaha tanaman hias. Sehari-hari ia masih membantu di kedai sembako ayahnya di Pasar Raya Padang. Karena hobi dan kesenangannya dengan tanaman, selain ingin berusaha sendiri, ia ingin terjun ke bisnis tanaman hias.

Namun benturan utama adalah modal. Untuk bisnis tanaman hias, modal terbesar adalah pembelian induk yang setiap batangnya untuk tanaman aglounema yang ditekuninya, antara Rp350 ribu hingga Rp500 ribu.

“Pada 2002 saya mulai membeli induk dengan uang hasil penjualan dan tabungan, kemudian 2004 saya melalui ayah yang punya jaminan uang pensiun meminjam ke Bank BRI Rp2 juta, pada 2006 saya meminjam ke BPR (Bank Perkreditan Rakyat) SMANdang, milik alumni SMAN 2 Padang, sebesar Rp5 juta, BPR ini tempat saya menabung,” katanya.

BPR inilah kemudian mengutusnya menjadi peserta dalam “Pengusaha Mikro 2006 Citigroup Microentrepreneurship Award 2006” yang membuatnya menjadi Pemenang III dengan hadiah uang tunai Rp7,5 juta.

Meski sempat menjadi penyalur tanaman hias euphorbia dari Medan ketika booming pada 2004-2005, usaha Afrizal sebenarnya lebih fokus kepada pembibitan, khususnya aglounema. Di awal-awal usahanya, bersama kakak laki-lakinya dengan mengendarai sepeda motor, ia berburu induk aglounema sampai ke Padang Panjang dan Solok yang jaraknya dari Padang lebih 70 km.

“Kakak (laki-laki) saya bahkan sampai tangannya pegal-pegal dan tidak bisa digerakkan karena lebih satu jam memegang pot bunga di kiri dan kanan di boncengan dan saya yang mengendarai,” katanya.

Pada 2004 kota-kota di Sumatera Barat mendapat pasokan tanaman hias dari Medan. Pada awalnya trend euphorbia, kemudian dengan cepat bergeser ke aglonema hingga sekarang. Namun untuk menjadikan induk aglonema dari Medan ini tidak cocok, karena umbinya telah dipotong. Padahal umbi inilah tempat tunas muncul.

Karena itu aglonema lokal yang masih punya umbi lebih cocok sebagai induk dan untuk mendapatkannya ia terpaksa mencari ke berbagai tempat usaha tanaman hias.

“Ketika banyak tanaman hias didatangkan dari Medan saya juga sempat mejadi penampung, tapi kemudian pasokan sempat putus dan sekarang sudah mulai berkurang, jadi terpikir kenapa kita tidak budidayakan sendiri karena di Padang sendiri masih banyak permintaan,” katanya.



Tidak Penyalur, Tapi Pembibitan

Afrizal memutuskan untuk menekuni budidaya aglonema, karena tanaman hias ini disukai konsumen dalam jangka waktu lama dan kemungkinan tidak akan habisnya. Pengetahuan budidaya selain ia dapatkan dari sesama pengusaha tanaman hias, juga dari membaca majalah Trubus.

Salah satu yang dinilai bagus dari usahanya oleh tim dari UKM Center UI adalah menekan angka produksi dengan pembibitan sendiri. Afrizal mendapat media tanah hingga pupuk di lokasinya sendiri. Ia membakar daun-daun dan ranting untuk mendapatkan media tanah yang bagus.

Sebagai pupuk ia mengambil pupuk kandang dari ternak yang banyak di sekitar lokasinya. Media dan pupuk yang didapatkan dengan gratis menekan angka produksinya, sehingga bisa menjual tanaman lebih murah dari pengusaha lain.

“Banyak pengusaha di sini (Lubuk Minturun-red) yang bertindak sebagai penyalur tanaman dari Medan, sedangkan saya melakukan pembibitan sendiri dengan media dan pupuk yang didapatkan dengan gratis, jadi menjual dengan harga murah pun saya masih untung,” katanya.

Aglonema termasuk tanaman mahal. Harga induknya berkisar antara Rp350 ribu hingga Rp500 ribu. Dengan modal Rp5 juta Afrizal hanya mampu membeli sepuluh batang induk. Untuk membudidayakannya pun terpaksa dilakukan dengan hati-hati, misalnya saat memotong anak, bisa-bisa induknya mati.

Tetapi ia mempunyai teknik budidaya dengan memotong tunas yang berusia satu bulan yang keluar dari umbi. Satu umbi atau satu induk bisa keluar hingga 12 batang tunas. Dua bulan sejak pemotongan anak-anak itu sudah bisa dijual.

“Masih langka orang yang melakukan budidaya aglonema, buktinya harganya masih tinggi, mungkin banyak yang nggak tahu caranya, bahkan ada yang mengatakan dengan menunggu anaknya, padahal dengan menunggu anaknya baru mucul dua tahun, jadi bisnis aglounema saya rasa tidak akan ada ruginya, tidak seperti usaha tanaman hias lain, tetap berkembang asal jangan dijual semua, termasuk induknya,” katanya.

Ia berkesimpimpulan pasaran aglounema terus berkembang dan harganya selalu naik. Sejak 2004 harganya sudah naik hampir tiga kali lipat. Sedangkan harga euphorbia sudah anjlok dibanding dua tahun lalu.

“Aglounema mengikuti trend, tapi lama bertahan, entah karena dia klasik saya kurang jelas, sampai sekarang orang masih memburunya aglonema, jenis pride Sumatera dulu sebatang yang berumur 8 bulan dihargai Rp80 ribu, sekarang yang berumur 6 bulan bisa Rp200 ribu, kan lebih tiga kali lipat,” katanya.


Budidaya Tanaman adalah Seni

Karena budidaya tanaman hias adalah seni, menurut Afrizal, melakukan perawatannya mesti dengan perasaan dan jika itu dilakukan hasilnya luar biasa.

“Setiap hujan turun semua tanah dalam pot saya gemburkan, sebab setelah hujan tanah bantat dan mengganggu pertumbuhan tanaman,” katanya.

Untuk pemasaran Afrizal tidak kesulitan. Lubuk Minturun yang terkenal sebagai kawasan usaha tanaman hias selalu ramai dikunjungi pembeli. Apalagi hampir setiap hari ia masih pergi ke Pasar Raya Padang untuk membantu kedai sembako ayahnya. Promosi dari mulut ke mulut di Pasar Raya juga banyak mendatangkan pelanggan.

Sekali dua hari juga datang dua sampai empat penjual bunga keliling dengan sepeda motor membeli tanaman hias kepadanya. Masing-masing belanja sekitar Rp150 ribu. Selain itu dalam seminggu kadang-kadang datang pembeli untuk tanaman hias kantor.

Namun yang diharapkan untung lebih besar pembeli untuk koleksi pribadi. Meski begitu omset Afrizal rata-rata baru Rp2 juta per bulan. Sebagian besar dari penjualan aglounema dan sisanya tanaman hias lain dan tanaman buah-buahan. Namun sekitar Rp300 ribu atau lebih dari penjualannya disisihkan untuk membeli induk.

Jika ada pesanan dalam jumlah banyak, misalnya untuk taman kantor, ia mempekerjakan sampai 5 orang setiap hari dalam seminggu. Namun sehari-hari ia mempekerjakan seorang kakak perempuannya untuk menyiram tanaman. Sedangkan untuk melakukan stek ia kerjakan sendiri.

“Tanaman hias tidak seperti sembako, jadi yang membeli kadang-kadang banyak, kadang-kadang sedikit, saat banyak ya, menjelang tahun baru,” katanya.

Afrizal bercita-cita mengembangkan usahanya lebih besar lagi. Sekarang investasinya baru sekitar Rp20 juta. Ia bercita-cita memperbesarnya, bahkan ingin menjadi pembudidaya tanaman hias khusus aglounema terbesar di Sumatera Barat. Peluang pemasaran pun sudah tampak di matanya, misalnya kosongnya pemasaran tanaman hias dari Medan di Pasar Raya. Namun ia terbentur dana.

“Saya belum pernah membawa tanaman hias saya ke pasar, umumnya pembeli datang ke sini, untuk membawa ke pasar kekuatan saya usaha saya belum cukup karena stok masih kurang, induknya tidak banyak, baru sekitar 250 batang, dari tiap jenis paling hanya lima batang, dan yang paling mahal hanya aglounema jenis pride Kuchin yang harganya sebatang Rp600 ribu,” katanya.


Bunga Bank Mencekik Leher


Kini ia menyiasati pengadaan induk dengan menyiasakan anakan. Jika tumbuh 10 batang anak, tiga batang ia sisihkan untuk calon induk. Tentu perlu waktu lama untuk menunggunya. Uang hadiah pun dibelikannya untuk induk.

Tapi itu tidak cukup, karena itu sertifikat Pengusaha Mikro 2006 Citigroup Microentrepreneurship Award 2006 pun akan ia lampirkan untuk mendapatkan kredit lunak dari program PUKK (Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi) sejumlah BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

“Saya kapok menggunakan kredit bank konvensional termasuk BPR (Bank Perkreditan Rakyat), setelah saya hitung-hitung bunganya mencapai 30 persen dari jumlah uang yang dipinjam, itu jelas mencekik leher pengusaha kecil seperti saya,” katanya.

Ia banyak mendapat pengalaman berusaha dari nominee award lainnya saat pertemuan di Jakarta. Saat itu pula ia menyadari dibanding daerah lain seperti Kalimantan dan beberapa daerah di Jawa, perhatian BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan pemerintah terhadap usaha mikro di Sumatera Barat kurang. Kesimpulannya, di daerah lain jangankan usaha pertanian, usaha bakso gerobak saja mendapat kredit lunak dari program PUKK.

“Peserta dari Kalimantan mengatakan selalu mendapat kredit lunak melalui program PUKK, dikasih bunga 4 persen, sebelum uang keluar diberi pelatihan kewirausahaan dari cara mengelola usaha sampai pembukuan diajarkan, biaya pelatihan gratis sampai makan dan penginapan, hal yang sama tidak pernah didapatkan di Sumatera Barat, di Lubuk Minturun ini puluhan pengusaha tanaman hias yang menyerap banyak tenaga kerja bagi penganggur, tapi mereka berusaha sendiri,” katanya.

Afrizal belum tahu apakah sertifikat yang ia dapat cukup ampuh untuk mendapatkan kredit lunak dari program PUKK BUMN.

“Orang bisnis aglonema modalnya puluhan bahkan ratusan juta, sementara saya hanya mengandalkan tenaga, kemauan, dan lahan di sekitar rumah, saya harap ada jalan untuk mendapatkan pinjaman modal yang tidak mencekik leher,” katanya.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar